Friday, July 25, 2014

SIM "Selingkuh Itu Menguntungkan"

Rokok kretek adalah produk asli Indonesia.
Rokok…?....kretek….? sigaret…?

Selama ini sebenarnya saya tidak begitu ambil pusing dengan istilah-istilah dunia perokok an, karena memang saya bukan perokok juga. Tapi saya suka melihat pria merokok, macho gitu kelihatannya….(hahaha…sungguh alasan yang tidak  ilmiah sekali..).

Diawal minggu ini kebetulan saya diberi tugas menjadi notulen sebuah acara bedah buku yang mengupas tentang intrik politik ekonomi dibalik sebatang rokok. Dengan actor utamanya perusahaan-perusahaan farmasi dunia dan perusahaan-perusahaan rokok dunia.  

Hingga akhirnya menarik saya untuk mencari tahu lebih dalam tentang rokok dan sejarahnya, terutama di Indonesia negeriku tercinta ini…yang semakin menyadarkan saya..betapa sesungguhnya Tuhan telah memberikan alamnya yang terbaik…hingga kita tidak pantas menjadi miskin…

Sebelumnya saya minta maaf yah…kalau tulisan saya nanti sedikit membosankan…karena ini memang tema yang sangat serius dan perlu pemikiran yang mendalam teman-teman….ini tidak main-main kawan… (untuk kami para petani cengkeh dan tembakau) tapi menjadi permainan bagi pemerintah kami tercinta…karena mereka tidak merasakan apa yang kami rasakan….

(mungkin…atau pura-pura tidak merasakan karena sudah menjadi kebiasaan). Pura-pura lupa dengan sejarah masa lalu…pura-pura pintar mengelola kekayaan alam Negara dengan cara menjual aset-aset…pura-pura pro rakyat padahal menghisap darah rakyat…..

Sebenarnya, buku yang berjudul “MUSLIHAT KAPITALIS GLOBAL/Selingkuh Industri Farmasi dengan Perusahaan Rokok AS” ini, menurut penulisnya adalah sebuah alarm peringatan bagi para petani khususnya tembakau dan cengkeh. Jangan sampai sejarah berulang, seperti yang terjadi pada nasib petani kopra di Indonesia. Dulu Indonesia penghasil kopra terbaik dunia, tapi sekarang dimana kopra?

Begitu juga dengan cengkeh, dulu di Sulawesi Utara setiap panen raya seperti pesta rakyat. Bahkan muncul cerita bahwa yang belum ada listrikpun sampai beli kulkas. Itu karena begitu besarnya manfaat ekonomi yang dihasilkan oleh cengkeh. Dimana hasil panen melimpah dengan harga yang tinggi. Walaupun sekarang hasilnya tidak sebanyak dahulu, namun masih banyak petani-petani cengkeh yang masih bertahan dan menggantungkan hidupnya disana.

Kemudian jika benar bahwa akan ada sebuah peraturan standarisasi rokok akibat permainan para kapitalis-kapitalis dunia yang menguasai perusahaan-perusahaan rokok. Standarisasi  yang  menyatakan bahwa kretek tidak masuk dalam kategori rokok, salah satu alasannya karena mengandung nikotin yang lebih tinggi dari yang ditetapkan.

Bagaimana rokok cina dan amerika bisa masuk ke Indonesia adalah dengan cara menciptakan produk rokok rendah nikotin. kampanye besar di internasional adalah kadar nikotin. Di Indonesia nikotinnya tinggi, dari Negara lain yang rendah nikotin. Kretek tidak bisa masuk ke pasar Amerika, sementara rokok produksi luar bisa masuk ke Indonesia. Di Amerika berpendapat bahwa rokok dicampur cengkeh merugikan kesehatan.

Ilustrasi, Rokok Putih.
Padahal kretek adalah satu-satunya produk rokok yang menggunakan campuran cengkeh dan hanya ada di Indonesia. Sementara rokok yang diakui secara internasional tidak memakai cengkeh. Tentu saja ini akan berdampak pada petani cengkeh, ketika tidak ada lagi permintaan dari pabrik rokok maka cengkeh tidak lagi bernilai ekonomis tinggi.

Dan ini bukan lagi satu hal yang mungkin akan terjadi tetapi memang pasti akan terjadi. Petani cengkeh akan kehilangan penghasilan yang sangat drastis, bisa 70-80%. Karena hanya mengandalkan permintaan dari produk-produk kesehatan saja. Penghasilan yang didapat tidak lagi sesuai dengan biaya produksi, pada akhirnya petani akan memutuskan untuk menebang habis pohon cengkehnya dan menggantikan dengan tanaman lainnya atau bahkan dibiarkan terbengkalai.

karena petani cengkeh sudah terbiasa dengan pola kerja perkebunan, tentu akan menjadi sulit ketika harus menjadi petani jenis lain. misalnya petani padi, atau petani ladang ketela pohon. kalaupun tetap perkebunan, kelapa misalnya itu akan memakan waktu yang lama....

Sementara hanya itu tumpuan dan harapan penghasilan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Setelah apa yang mereka upayakan dari tahun ke tahun menanam dan merawat seharusnya sekarang mereka tinggal menikmati hasilnya. Disaat pemerintah tidak bisa menyediakan lapangan pekerjaan seperti sekarang ini, paling tidak jagalah rakyatnya yang sudah bekerja keras untuk tidak menjadi beban pemerintah.

Padahal saat ini tembakau dan cengkeh yang diolah menjadi rokok kretek penyumbang dana terbesar untuk pendapatan Negara. Seperti yang diungkapkan Dirjen Perkebunan (sumber: website resmi Dirjen Perkebunan, Kementerian Pertanian)

Khusus untuk komoditi cengkeh bersama-sama dengan tembakau mampu menghasilkan kontribusi terhadap cukai rokok pada tahun 2009 mencapai Rp 55 trilyun, tahun 2010 meningkat menjadi Rp. 59 trilyun, dan tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp 61 trilyun,

Dirjen Perkebunan juga menyampaikan bahwa cengkeh merupakan salah satu dari 15 komoditi yang diutamakan penanganannya dalam pembangunan perkebunan khususnya untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Sebagai tanaman asli Indonesia dengan tetuanya cengkeh AFO, tanaman cengkeh mempunyai peranan strategis karena hampir seluruhnya diupayakan oleh petani (98 % dari total areal) dan hasilnya sebagian besar (Iebih dari 90 %) diserap oleh pabrik rokok.

Sementara dari data resmi website PT. HM Sampoerna menyatakan bahwa, Pada tahun 2011, Sampoerna membayar cukai sejumlah hampir Rp20 triliun. Ini sama dengan 30% dari total penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang berjumlah Rp64,8 triliun pada tahun 2011.

Berbagai bentuk Rokok dalam kemasan.
Sejarah cengkeh terjalin erat dengan sejarah Indonesia sendiri. Secara hortikultura, pohon cengkeh merupakan jenis tanaman perdu asli Indonesia.Rempah-rempah yang sangat dicari ini aslinya hanya tumbuh di lima pulau kecil di sebelah timur Sulawesi dan sebelah barat Papua. Cengkeh pernah dihargai sangat tinggi karena khasiatnya sebagai obat. Harganya pun telah cukup mahal sejak zaman kerajaan Romawi Kuno.

Bicara tentang tembakau dan cengkeh, memang akan sangat berkaitan dengan kontradiksi keberadaan rokok….

Bicara rokok akan menjadi lebih kompleks lagi permasalahannya…..

Rokok menjadi suatu benda yang di benci oleh sebagian orang karena akibat yang ditimbulkan….tapi juga di sayang oleh sebagian yang mencandunya. Disisi ekonomi pemerintah juga sangat membutuhkan rokok demi menambah pendapatan Negara, yang akan berimbas pada aspek pembangunan.

Disatu sisi rokok juga dianggap sebagai salah satu pemicu penyakit-penyakit berbahaya, seperti kanker, jantung, impotensi dan gangguan pada janin. Lebih parahnya lagi yang lebih kena dampaknya adalah perokok pasif dibandingkan perokok aktif….

Perusahaan rokok itu sendiri mengakui dan memperingati dampak yang ditimbulkan karena merokok, tertulis jelas di bungkus kemasan rokok yang anda beli. Jadi jangan salahkan produsen rokok, karena mereka sudah memperingati loh…begini tulisannya ..


“MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN”

Pada dasarnya saya sangat setuju..bahwa rokok dapat merusak kesehatan, apalagi bagi perokok pasif seperti saya…. Tapi dibalik definisi sehat dan tidak sehat dari sebatang rokok sesungguhnya mengandung nilai ekonomi yang sangat tinggi bagi banyak pihak, salah satunya pemerintah seperti diungkapkan diatas.

Pihak lainnya tentu saja perusahaan rokok itu sendiri dan satu lagi yakni perusahaan Farmasi. Anda pasti bingung apa kaitannya rokok dengan perusahaan farmasi…? Bukan kah mereka saling berseberangan…?

Lihat saja slogan iklan mereka…masing-masing...

Sebenarnya sederhana saja logikanya….!!!

Ketika orang sudah mulai merokok pasti lama-lama menjadi ketagihan, artinya menciptakan suatu situasi yang akhirnya kecanduan. Kemudian untuk menghilangkan kecanduan itu seseorang tidak bisa secara langsung karena akan menimbulkan rasa sakit diseluruh tubuhnya. maka memerlukan suatu cara untuk menghentikan ini secara perlahan-lahan. Misalnya dari yang dua bungkus sehari, dikurangi menjadi satu bungkus sehari. Ini tentu saja membutuhkan waktu yang lama.

Nah didasari fakta itu, industry farmasi kemudian menemukan suatu teknologi yang namanya NRT (Nicotine Replacement Therapy). NRT ini adalah suatu metode pengalihan dari kebiasaan merokok dengan kebiasaan yang lain. Melalui media seperti koyo, permen dan lain-lain yang bisa menjadi pilihan para pecandu rokok yang ingin berhenti merokok. Pada dasarnya fungsinya sama, karena dibuat dari nikotin yang diambil dari tembakau atau rokok.

contoh iklan bahaya merokok.
Bisa kita bayangkan,  Indonesia yang berpenduduk kurang lebih 250 juta orang dengan jumlah perokok sekitar 70 juta orang, ini adalah satu pasar yang potensial. Hingga buat perusahaan-perusahaan farmasi internasional, harus mengupayakan dengan berbagai cara agar bagaimana produknya dikonsumsi oleh orang dalam jumlah besar ini. Karena disitu letaknya keuntungan.

Disisi lain ada juga MNC rokok internasional seperti Philip Moris, American tobacco, seiring dengan kampanye anti rokok misalnya yang akan berdampak lama karena proses penyembuhannya juga perlahan-lahan. Maka sesungguhnya untuk orang menghentikan rokok membutuhkan waktu yang panjang yang tidak akan selesai dalam setahun dua tahun mungkin puluhan tahun bahkan satu abad. Malah mungkin dan hampir bisa dipastikan pasar orang perokok ini akan terus bertambah dan semakin besar..

Kemudian mereka melakukan yang namanya pengambil alihan, jadi MNC farmasi dengan atas nama kesehatan menyumbang uang ke WHO untuk mengeluarkan kebijakan anti rokok, menekan Negara-negara untuk mengendalikan tembakau. Kemudian banyak Negara-negara berkembang yang mengadopsi kebijakan berkaitan pengendalian rokok.

Disisi lain pabrik-pabrik rokok besar di dunia kemudian mengambil alih pabrik-pabrik rokok di negara-negara yang mengadopsi kebijakan anti rokok. Sepertin Pakistan, India yang diambilalih oleh Philip Morris International (PMI). Indonesia tidak terkecuali, perusahaan-perusahaan rokok local terbesar sudah diakuisisi oleh PMI seperti PT. HM Sampoerna, PT. Nojorono Tobacco International (NTI).

Jadi ketika bicara soal rokok, kita tidak bisa bicara tentang kesehatan semata. Sehat tidak sehat, tapi kemudian kita bicara sebagai ekonomi politik. Keduanya saling membutuhkan dan saling mendukung, antara perusahaan Farmasi dan Perusahaan rokok..perselingkuhan ini tidak hanya indah tapi juga menguntungkan.

Lalu kita juga tidak bisa tidak harus membicarakan nasib para petani tembakau dan cengkeh yang akan berdampak langsung dari semua kebijakan yang dibuat terkait dengan rokok seperti yang sudah diungkapkan diatas. Pemerintah harus berhati-hati dalam membuat suatu kebijakan karena ada ribuan bahkan mungkin jutaan petani tembakau dan cengkeh yang menggantungkan nasibnya.

Di era desentralisasi sekarang ini dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan lebih untuk bisa melindungi kekayaan alam yang dimiliki, khususnya Sulawesi Utara. Seperti yang diungkapkan Dirjen Perkebunan bahwa saat ini, luas areal cengkeh mencapai sekitar 470 ribu ha dengan produksi 84,8 ribu ton. Dari luasan tersebut, Sulawesi Utara sebagai penghasil utama seringkali dijadikan barometer cengkeh nasional, memberikan kontribusi areal seluas 75 ribu ha atau 16 % dari luasan nasional.

Contoh iklan rokok di Indonesia.
Jadi seharusnya pemerintah daerah dapat membuat suatu kebijakan yang dapat melindungi semua produksi khas daerah Sulawesi Utara khususnya cengkeh. Sehingga para spekulan tidak bisa seenaknya menentukan harga, apalagi masih ada praktek pembodohan petani dengan menggunakan system ijon…

Namun pada kenyataannya ini harus diperjuangkan, karena kami tidak bisa berharap itu bisa terjadi begitu saja...kan sudah saya bilang tadi, pemerintah kita cenderung pura-pura lupa kalau sudah berkaitan dengan kewajiban.

Untuk itu kami harus bersatu mengorganisir diri, karena yang kami miliki hanya jumlah dan rasa solidaritas dari teman-teman petani maupun yang bukan petani. Hingga perjuangan untuk mendapatkan hak-hak kami bisa lebih didengar.

Contoh iklan rokok di Indonesia.
Semoga teman-teman dari daerah-daerah lain lebih mudah perjuangannya…ataupun kalau memang sama susahnya…(saya yakin sih sama…kan presiden kita sama…), kita tetap harus semangat kan…?!!!

Dan jangan lupa berdoa….


Penulis: Nurhasanah | Manado, 01 Desember 2012

Tuesday, May 27, 2014

Standar Ganda Amerika pada Sektor Tembakau

Standar Ganda Amerika pada Sektor Tembakau
Petani Tembakau. Foto: ist
Terbongkarnya upaya penyadapan oleh Badan Keamanan Nasional AS (NSA) dan Australia terkait kretek dan udang dan kretek terhadap Indonesia dikecam berbagai pihak. Menurut penuturan kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Letjen Purnawirawan Marciano Norman, motif Amerika menyadap adalah persaingan bisnis rokok kretek dan udang. Memang, selama ini ada persaingan dagang antara Indonesia dengan Amerika Serikat dan Australia, salah satunya adalah bisnis kretek dan udang.

Pada perdagangan udang, Amerika berkeberatan dengan ekspor udang dari Indonesia dengan alasan, bahwa udang dari Indonesia dijual di bawah harga pasar. Ini jelas aneh, Amerika yang konon mendorong mekanisme pasar, ternyata tidak konsisten. DI luar negraranya Amerika menuntut pemberlakuan mekanisme pasar, tetapi di negaranya ia melindungi habis-habisan produknya dari serangan mekanisme pasar.

Lantas kenapa terjadi sengketa dagang di bisnis rokok antara Amerika dan Indonesia? Kasus ini berawal ketika Amerika mulai khawatir dengan perdagangan Kretek di Amerika. Kretek, rokok asli buatan Indonesia, ini dinilai membahayakan sejumlah produsen rokok putih di Amerika. Akibatnya, industri rokok di negeri Paman Sam ingin menerapkan aturan anti kretek.  Keingina ini difasilitasi oleh Negara. Akhirnya Amerika melarang penjualan rokok Kretek di Amerika.

Konflik dagang antara Amerika dan Indonesia meruncing ketika Amerika Serikat melarang penjualan rokok kretek asal Indonesia selama beberapa tahun. Kretek di larang dengan alasan berbahaya bagi kesehatan. Biasa, alasan basi. Larangan kretek di amerika ini jelas black campaign. Bagaimana bisa, rokok kretek dinilai membahayakan kesehatan sedangkan rokok putihan tidak.

Tentu saja Indonesia keberatan, dan mengadukan hal ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WHO) dengan beralasan bahwa rokok mentol sama saja dengan rokok kretek dan masih dijual bebas di AS. Indonesia memenangkan sengketa dagang ini. Akhirnya WTO menganulir pelarangan impor rokok kretek sebagai bagian dari pelanggaran aturan perdagangan internasional.

Kenapa Amerika begitu khawatir dengan bisnis kretek? Ternyata, nilai ekspor kretek Indonesia ke Amerika sejak 2005-2010 terus meningkat. Total ekspor kretek selama lima tahun  itu mencapai USD 450 juta. Sebesar 60 persen nilai ekspor kretek terkirim ke Amerika. Ini artiya, Kretek sangat disukai oleh masyarakat Amerika. Tetapi karena bisa mengancam industry rokok putih di sana, Amerika akhirnya berusaha menghambat produk kretek.

Namun semenjak diterapkannya UU anti kretek di Amerika pada 2010, ekspor petani dan pelaku industri kretek nasional langsung terhenti. Meminjam istilah salamuddin Daeng, “langsung nihil”. Padahal permintaan kretek di Amerika masih sangat tinggi.

Berkat pengaduan sengketa di WTO, sejak medio 2012-2013 WTO telah melarang regulasi Amerika berlaku. Meskipun kalah, namun rupanya Amerika tidak mau menaati hasil sidang WTO. Tidak hanya itu, Amerika juga mencari cara agar menang dan tetap leluasa menjalankan ketentuan anti kretek di negaranya. Salah satunya menggali informasi lewat penyadapan.

Amerika dibantu Australia melakukan penyadapan melalui firma-firma hukum, pejabat eselon I dan eselon II pemerintahan, seperti di Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, Kementrian Kelautan, dan Kemenko Perekonomian. Salah satu yang disadap adalah biro hukum yang mewakili pemerintah Indonesia dalam sengketa rokok dan udang dengan Negara Abang Sam itu. Seolah-olah, bagi Amerika, pemanfaatan intelijen untuk kepentingan bisnis adalah sah untuk dilakukan. Karenanya Amerika menggunakan intelijen untuk mengantisipasi langkah bisnis kompetitornya. Termasuk menyadap apparatus Negara dan biro hukum asosiasi udang dan rokok Indonesia di Amerika.

Selain kretek, komoditas yang menjadi incaran untuk dijatuhkan adalah udang. Indonesia merupakan negara produsen udang terbesar di dunia. Indonesia menyumbang USD 1,2 milliar atau 40 persen dari total ekspor perikanan. Belakangan ini Indonesia membangun kawasan pembenuran di Bali yang jika produksinya meningkat, dianggap bisa berpengaruh kepada harga pasaran udang di dunia. Tentu saja fakta ini membuat Amerika khawatir. Karena kalau dibiarkan, produsen udang di Amerika bisa terancam.

Bocoran dokumen penyadapan oleh Amerika memantik protes keras dari  tanah air. Australia dan Amerika dikecam. Entah kalau kelompok anti rokok, mungkin malah senang. SIkap dan kelakuan Amerika ternyata tidak semanis bahasa diplomasi yang mereka ucapkan. Australia dan Amerika dengan bodohnya mengatakan, bahwa penyadapan yang mereka lakukan hanyalah menyasar jaringan teroris. Mereka juga berkilah bahwa penyadapan itu, katanya, bukan untuk tujuan komersil, tetapi untuk melindungi rakyat kami dan rakyat negara lain.

Penjelasan ahistoris dari kedua Negara itu tentu saja membuka pintu perdebatan yang panjang. Banyak yang mempertanyakan hubungan sengketa dagang kretek dan udang dengan keamanan Negara. Secara tegas Menlu Indonesia, Marty Natalegawa, mempertanyakan, “Yang sulit saya pahami, bagaimana bisa konflik dagang udang dapat berimbas terhadap keamanan nasional Australia?” sebagaimana dikutib Kompas.

Dari rangkaiana fragmen di atas menunjukkan ketakutan yang besar Amerika terhadap bisnis Kretek dari Indonesia, karena bisa menghancurkan bisnis rokok putih di Amerika. Penyadapan oleh Amerika ke Indonesia yang terjadi akhir-akhir ini merupakan salah satu bentuk usaha Amerika untuk menghancurkan sejumlah komoditas penting nasional agar tidak menguasai perdagangan. Disamping itu, untuk kepentingan bisnisnya, Amerika menggunakan standar ganda. Di negaranya, Amerika menerapkan berbagai proteksi untuk melindungi rokok putih. Sementara di luar negaranya, misalnya di Indonesia, Amerika melarang proteksi kretek dan menuntut berlakunya mekanisme pasar, agar rokok putih bisa tersebar luas. Kasus ini telah membuktikan, bahwa Kretek adalah sektor nasional yang sangat menjanjikan.

Oleh Rifqi Muhammad


Artikel ini sebelumnya telah dimuat dihalaman Komunitas Kretek

Sunday, May 25, 2014

Diskriminasi Regulasi Menko Kesra RPP Tembakau

Salah satu aksi menolak RPP Tembakau di Yogyakarta. Foto: Jibiphoto|Desi Suryanto
Diskriminasi Regulasi

1. Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan jelas dirasakan mendiskriminasi industri sektor tembakau. Sebab pada Bagian Tujuhbelas perihal Pengamanan Zat Adiktif, khususnya Pasal 113 ayat (2), secara khusus dan tersendiri mendudukkan tembakau sebagai satu-satunya senyawa adiksi yang berbahaya bagi kesehatan. Padahal jika kita berbicara senyawa adiksi yang oleh berbagai otoritas riset telah dinyatakan atau dianggap berbahaya bagi kesehatan, tentu sebenarnya akan berjajar banyak sekali produk yang masuk dalam kualifikasi atau kategorisasi adiksi tersebut. Ambilah sekadar contoh, produk Coca-Cola atau Mc Donald. 

2. Karena itu KNPK mentengarai ada kepentingan modal asing bekerja di balik proses legislasi UU Kesehatan tersebut. Bahkan, belakangan terungkap pembiayaan dalam jumlah sangat besar dari lembaga donor asing. Sebutlah Bloomberg Initiative, misalnya, yang membiayai gerakan global anti-rokok setidaknya pada 15 negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia sejak tahun 2007 hingga kini dana ratusan milyaran telah digelontorkan baik secara langsung atau tidak langsung ke Pemerintah, legislatif maupun berbagai ormas di tingkat masyarakat sipil.

3. Bagaimanapun, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan atau yang lebih kita kenal dengan nama “RPP Tembakau” adalah sebuah peraturan pelaksana atau mandat konstitusional Pasal 116 UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun jika kita mengamati RPP Tembakau sebagai peraturan pelaksana UU Kesehatan tersebut, terlihat jelas bahwa regulasi tersebut bermaksud mengadopsi secara ketat klausul-klausul Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention Tobacco Control (FCTC)

4. Problemnya ialah, jika kita dedah lebih jauh ternyata ketentuan-ketentuan dalam RPP Tembakau lebih bersifat melakukan eliminasi atau pemusnahan industri rokok nasional. Ini dapat dilihat dari ruang lingkup pengaturan RPP Tembakau yang begitu luas, yang tidak saja menyangkut pengaturan soal produksi melainkan juga perihal peredaran produk tembakau baik melalui pengaturan model kemasan atau pelabelan (peringatan kesehatan), periklanan (promosi), sponsorship maupun tentang tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). 

5. Selayaknya regulasi yang memiliki cakupan spektrum pengaturan yang begitu luas membutuhkan perangkat hukum yang lebih komprehensif dan berkedudukan lebih tinggi (baca: Undang-Undang) dan bukan sekadar peraturan pelaksana dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Lebih jauh regulasi tersebut harus lahir dari proses legal drafting yang tidak saja melibatkan insitusi pemerintah dan parlemen, melainkan juga para stakeholder terkait (industri tembakau) dari berbagai lini dan kekuatan modal mereka.

6. Dalam konteks inilah, kami para pihak yang berkepentingan dengan keberlangsungan industri kretek yang tergabung dalam Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) merasa kepentingan kami tidak terakomodasi dalam proses perumusan RPP Tembakau. Selama ini, berbagai input dalam perumusan RPP Tembakau tampak lebih merujuk kepada akomodasi berbagai kepentingan industri rokok besar (asing) daripada industri skala menengah-kecil.

7. Implikasinya, jelas bisa kita duga jauh-jauh hari, jika RPP Tembakau diabsahkan maka ratusan atau bahkan ribuan industri rokok rumahan pasti gulung tikar, dan efek simultannya langsung maupun tidak langsung akan menghepas stakeholder terkait lain: seperti sektor pertanian tembakau dan cengkih serta gelombang PHK massal buruh, baik itu pada tingkat hulu maupun hilir.

8. Bagaimanapun, seluruh klausul RPP Tembakau jelas akan mematikan industri kretek, khususnya industri rokok rumahan, Pengaturan tentang proses produksi yang berlebihan sebagaimana diatur dalam Pasal 11—yakni larangan menambah bahan-bahan tambahan—jelas, pelarangan ini berpotensi meluas pada pelarangan penggunaan bahan-bahan lainnya yang notabene telah umum atau lazim digunakan dalam proses pembuatan produk tembakau, khususnya rokok kretek. Sebagaimana kita ketahui, rokok kretek mengandung ramuan tradisonal (saos, penambah rasa dan aroma) yang sudah sejak lama ada dan merupakan kekhasan dan keunikan produk rokok kretek bangsa kita.

9. Sebagai stokeholder pabrik rumahan kami setuju dengan adanya peringatan berupa tulisan, namun kami tidak setuju dengan peringatan berupa gambar sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat 2. Peringatan kesehatan berupa gambar pada produk tembakau bersifat over-excessive (over exaggeration), terkesan mengada-ada dan diskriminatif. Sejauh ini tidak ada bukti konkrit yang menyatakan dan menunjukkan bahwa peringatan bergambar dapat secara efektif menurunkan tingkat konsumsi rokok. Di samping itu, penggunaan gambar dapat merusak desain kemasan dan melanggar kebebasan berekspresi sebagai bagian nalar strategi marketing sebuah komoditas. Terlebih ketika dalam Pasal 16 ayat 2, besaran gambar mengambil porsi 40% sisi muka dan sisi belakang sebuah kemasan. 

10. Pengaturan soal kemasan dan pelabelan produk tembakau (Pasal 13 – 16) yang berupa tulisan dan gambar jelas akan membuat biaya produksi membengkak. Ditambah dengan adanya ketentuan beberapa varian gambar yang secara periodik harus selalu diganti, yakni 5 jenis gambar untuk setiap satu jenis produk, jelas akan semakin membebani dan menyulitkan biaya produksi kami selaku pengusaha menengah-kecil di sektor industri kretek. Selain itu, asumsi total jumlah produksi tidak lebih dari 24 juta batang pertahun untuk ketentuan pengenaan 2 jenis gambar, jelas sangat mempersempit kategorisasi yang diberikan terhadap eksistensi perusahaan kecil.   

11. Khususnya untuk Pasal 21 tentang perubahan redaksional peringatan kesehatan, “Tidak ada batas aman” dan “mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 43 zat penyebab kanker”, kami tidak setuju dengan usulan klausul tersebut. Pencantuman pernyataan ini bersifat over-excessive (over exaggeration) mengingat bahwa pada kemasan rokok telah dicantumkan sederatan informasi lengkap yang meliputi: informasi mengenai kadar tar dan nikotin, peringatan kesehatan berupa tulisan, dan pernyataan larangan penjualan kepada anak-anak dan perempuan hamil. Dengan begitu kami menghendaki redaksional lama dalam teks peringatan kesehatan.

12. Terkait dengan promosi, sponsor dan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility), sebagaimana diatur dalam Pasal 34 – 36 jelas sangat bermaksud membatasi ruang gerak eksistensi industri tembakau, bahkan cenderung mendiskriminasi. Karena, umum kita ketahui, penggunaan nama perusahaan yang bergerak pada sektor industri kretek dan nama produknya (merek dagang) adalah dengan menggunakan satu nama yang sama. Dengan begitu pelarangan menggunakan nama produk (merek dagang) dalam kegiatan sponsorship dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), tentu menjadi sebuah pembatasan terhadap ruang gerak eksistensi perusahaan yang teramat diskriminatif.     

13. Untuk Pasal 48 – 49 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), menurut kami ada ketidakjelasan definisi tentang “tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan”. Selain frase ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena membuka keluasan atau kelenturan tafsiran, lebih jauh frase tersebut akan menyulitkan masyarakat maupun Pemerintah Daerah dalam menetapkan Kawasan Tanpa Rokok. 

14. Merujuk putusan Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan uji materi Pasal 115 ayat (1) bagian penjelasan Undang-Undang Nomer 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menghilangkan kata “dapat” sehingga menjadi “khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya menyediakan tempat khusus untuk merokok”, maka sudah seharusnya RPP Tembakau menyesuaikan diri dengan putusan MK tersebut. Adanya Ruang Merokok (smoking areas) harus menjadi bagian yang wajib ada dalam pengaturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Sehingga, menurut kami, keberadaan Pasal 50—terkait ketentuan Pasal 49 huruf f dan g—masih bersifat tidak memberikan sebuah kepastian hukum yang jelas. Karena redaksional klausul Pasal 50 RPP Tembakau masih tetap tidak bersifat mewajibkan adanya Ruang Merokok sebagaimana amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi Pasal 115 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 

15. Dengan begitu pembatasan merokok di tempat umum harus ditetapkan lebih jelas dengan adanya “Kawasan Tanpa Rokok” dan “Kawasan Terbatas Merokok” sehingga peluang bagi perokok untuk merokok di tempat tertentu dapat terpenuhi tanpa mengganggu orang lain yang tidak merokok. Selain itu, merokok di udara terbuka seyogyanya diperbolehkan karena asap rokok akan secara natural terlarutkan dalam udara bebas sehingga tingkat pemaparan asap terhadap non perokok akan jauh lebih rendah.

16. Isu yang dihembuskan mengenai tembakau sebagai zat adiktif sebagaimana tertuang dalam Pasal 113 Undang-Undang Nomer 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan jelas berpengaruh pada tidak adanya supporting system pemerintah untuk memperkuat sektor industri tembakau, baik itu di tingkat hulu maupun hilir.

17. Sejalan maraknya gerakan anti-rokok global dan nasional yang telah mendapat justifikasi dan legitimasi hukum dalam peraturan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka isu skema kenaikan cukai tinggi menuju sistem cukai tarif tunggal (single tariff) pun menjadi model pembuatan regulasi atau kebijakan Pemerintah. Ambillah contoh regulasi di tingkat Kementerian seperti Peraturan Menteri Keuangan No. 167/PMK.011/2011 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 200/PMK.4/2008, yang cenderung merampingkan banyak klaster dalam perusahaan-perusahaan rokok. Implikasinya berdampak pada terjadinya penurunan secara tajam jumlah perusahaan pengolahan tembakau, khususnya pabrik kecil atau rumahan. Dari data tahun 2008 tercatat ada 4.793 unit perusahaan, namun pada tahun 2009 jumlah tersebut turun menjadi 3.255 unit perusahaan (Salamuddin Daeng dkk., 2011).


*****